
Masyarakat adat Tobelo Dalam, yang sering disebut “Togutil,” memiliki sejarah dan budaya yang kaya. Mereka tinggal di kawasan Hutan Akejira di Halmahera, Maluku Utara, yang telah menjadi bagian integral dari kehidupan mereka selama ratusan tahun. Hutan ini bukan hanya tempat tinggal, tetapi juga memiliki nilai sakral yang mendalam bagi komunitas adat tersebut. Namun, keberadaan mereka kini terancam akibat eksploitasi sumber daya alam yang mengatasnamakan pembangunan. Masyarakat Tobelo Dalam menghadapi tekanan untuk meninggalkan hutan mereka karena berbagai kepentingan industri dan kebijakan negara.
Ancaman Terhadap Hutan dan Identitas Adat
Sejak pemerintah mulai menandai pohon-pohon di hutan mereka untuk kepentingan industri, masyarakat adat Tobelo Dalam mulai menghadapi berbagai tantangan. Keputusan pemerintah melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 397/Menhut-II/2004 Menetapkan kawasan Taman Nasional Aketajawe-Lolobata, yang mencakup dua blok utama: Blok Aketajawe seluas 77.100 hektar dan Blok Lolobata seluas 90.200 hektar, dengan total keseluruhan mencapai 167.300 hektar. Akibatnya, masyarakat Tobelo Dalam menghadapi kesulitan dalam mengakses tanah dan sumber daya yang menjadi bagian dari kehidupan mereka sehari-hari.
Dalam pandangan masyarakat adat Tobelo. Hutan bukan hanya tempat mencari sumber makanan dan obat-obatan, tetapi juga ruang sakral yang menghubungkan mereka dengan leluhur. Setiap pohon, sungai, dan tanah memiliki makna spiritual yang mendalam. Beberapa kelompok menolak kehadiran perwakilan pemerintah dan berusaha mempertahankan hak mereka atas hutan. Perlawanan ini muncul karena tanah adat mereka, yang telah dihuni secara turun-temurun, kini ditetapkan sebagai bagian dari kawasan konservasi dan pengembangan industri. Untuk mempertahankan itu semua terlihat sekelompok orang Tobelo Dalam telah bersiap dengan busur, panah, dan tombak, berniat mengusir para utusan pemerintah. Sementara itu, penguasaan lahan untuk keperluan persawahan dan pembangunan pemukiman terus berlanjut, mendorong masyarakat adat untuk melakukan perlawanan.
Novenia Ambeua, seorang perempuan adat Tobelo, menyatakan bahwa kerusakan hutan berarti kehancuran kehidupan mereka. Ketika ruang hidup mereka diganggu, komunitas Tobelo Dalam terpaksa berpindah mencari tempat baru. Bersama tetua adat dan Masyarakat Adat Minamin—keturunan Togutil Sabeba—Novenia berulang kali melakukan unjuk rasa, baik di desa (hoana) maupun di dalam hutan, untuk mempertahankan tanah leluhur mereka.
Hukum Adat dan Bayang-Bayang Kepentingan Industri Negara
Secara administratif, hak ulayat masyarakat adat Tobelo masih lemah dalam sistem hukum positif Indonesia. Meskipun UUD 1945 Pasal 18B dan Pasal 28I mengakui keberadaan masyarakat hukum adat, implementasi perlindungan hak mereka masih menghadapi berbagai kendala. Regulasi seperti Undang-Undang Kehutanan dan Undang-Undang Penataan Ruang juga memberikan batasan terhadap akses mereka terhadap hutan.
Dalam perspektif hukum adat, masyarakat Tobelo Dalam memiliki sistem pengelolaan sumber daya yang diwariskan turun-temurun. Teori Receptio a Contrario menegaskan bahwa hukum adat tetap berlaku selama tidak bertentangan dengan hukum agama dan norma sosial yang dianut masyarakat setempat. Sementara itu, Teori Damai menunjukkan bahwa penyelesaian konflik dalam masyarakat adat lebih mengutamakan musyawarah daripada tindakan koersif. Apalagi secara adat, leluhur mereka, seperti Kokawahi, telah menetap di Hutan Akejira jauh sebelum batas administratif kabupaten ditetapkan, apalagi sebelum investasi pertambangan masuk.
Regulasi tentang Perlindungan Hukum dan Pengakuan terhadap Keberadaan Masyarakat Adat
Pengakuan terhadap masyarakat adat di Indonesia beragam, baik dalam bentuk kebijakan daerah maupun kesepakatan internasional yang telah diratifikasi. Beberapa dasar hukum pengakuan ini antara lain:
- UUD 1945 Pasal 18B – Negara mengakui dan menghormati satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau istimewa. – Negara juga mengakui masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya, selama masih hidup dan sesuai dengan prinsip NKRI.
- UUD 1945 Pasal 28I (HAM) – Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati sesuai perkembangan zaman.
- Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998 tentang HAM – Menegaskan bahwa pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat adalah bagian dari penghormatan terhadap hak asasi manusia.
- UUPA No. 5 Tahun 1960 – Pasal 2 Ayat (4) memberikan kewenangan kepada daerah dan masyarakat adat dalam pengelolaan sumber daya hutan, sesuai kepentingan nasional.
- UU No. 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang – Menjamin hak masyarakat adat atas ruang dan sumber daya alam, termasuk hutan dan tambang, dengan kompensasi jika terdampak pembangunan.
- UU No. 11 Tahun 1974 tentang Pengairan – Pasal 3 Ayat (3) mengakui hak masyarakat adat atas sumber daya air selama tidak bertentangan dengan kepentingan nasional.
- UU No. 5 Tahun 1967 tentang Kehutanan – Mengizinkan masyarakat adat memanfaatkan hutan ulayat, dengan ketentuan tidak menghambat tujuan kehutanan nasional. UU ini digantikan oleh UU No. 41 Tahun 1999 yang mengakui hutan adat dalam wilayah masyarakat hukum adat.
- UU No. 5 Tahun 1994 tentang Keanekaragaman Hayati – Pasal 8 dan 15 mengakui serta melindungi praktik tradisional masyarakat adat dalam konservasi sumber daya hayati.
- UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah – Pasal 93 dan 99 menegaskan keberadaan desa adat serta kewenangannya berdasarkan hak asal-usul.
- PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah – Mengakui hak tanah adat berdasarkan bukti kepemilikan dan penguasaan selama 20 tahun lebih, serta mengakomodasi peran tetua adat dalam ajudikasi tanah.
- PP No. 6 Tahun 1999 tentang Pengusahaan Hutan – Mengizinkan masyarakat adat memanfaatkan hasil hutan untuk kebutuhan hidup. PP ini akan digantikan dengan regulasi baru yang lebih spesifik tentang hutan adat.
- Permen Agraria/BPN 1999 – Mendefinisikan hak ulayat sebagai kewenangan masyarakat adat atas wilayahnya untuk keberlangsungan hidup mereka. Namun, pemulihan hak-hak ini masih memerlukan regulasi lebih lanjut melalui Peraturan Daerah (Perda).
Sedangkan, dalam konteks hukum adat, terdapat dua teori yang relevan untuk melihat bagaimana masyarakat adat mempertahankan hak-haknya:
- Teori Receptio a Contrario, Sayuti Thalib membangun teori ini sebagai tanggapan terhadap dominasi hukum Islam atas hukum adat. Menurut konsep ini, hukum adat masih dapat diterapkan selama tidak bertentangan dengan hukum agama masyarakat. Hukum adat berasal dari kebutuhan hidup bersama dan dipatuhi oleh masyarakat. Hukum adat masyarakat Tobelo harus dihormati selama tidak bertentangan dengan keyakinan mereka.
- Teori Damai, Menurut teori damai, hukum adat bersifat komunal dan mengutamakan musyawarah sebagai penyelesaian konflik. Tokoh seperti Van Vollenhoven dan Ter Haar menekankan bahwa masyarakat adat lebih mengutamakan harmoni dan keseimbangan sosial daripada pendekatan koersif dalam menyelesaikan sengketa. Dalam konteks masyarakat adat Tobelo, mereka memilih jalur damai dalam melawan ancaman tambang dengan aksi protes dan diplomasi lokal.
Dinamika Perjuangan dan Ketidakpastian Hukum
Dalam kasus Hutan Akejira, konflik yang dihadapi masyarakat Tobelo mencerminkan dua teori utama hukum adat. Strategi Van Vollenhoven dan Ter Haar untuk damai mengutamakan musyawarah sebagai perlawanan terhadap ancaman tambang dan menghindari konflik fisik. Menurut Teori Receptio a Contrario Sayuti Thalib, hukum adat memiliki legitimasi sendiri dan tidak perlu dikesampingkan oleh hukum negara jika tidak bertentangan dengan nilai-nilai agama masyarakat.
Hak-hak masyarakat adat seringkali dikalahkan oleh kepentingan industri. Ketidaksesuaian hukum ini menunjukkan kesulitan struktural yang mereka hadapi dalam mendapatkan pengakuan yang adil. Sekarang Hutan Akejira, yang telah dijaga secara turun-temurun, menghadapi ancaman eksploitasi, yang dapat menghilangkan jejak kehidupan dan sejarah mereka. Perjuangan masyarakat adat Tobelo menunjukkan pertarungan yang berlangsung sejak lama antara hak komunal dan kepentingan ekonomi yang lebih kuat.
Epilog
Hutan Akejira adalah simbol perlawanan masyarakat adat terhadap ketidakadilan struktural yang mengabaikan hak-hak mereka. Lebih dari sekadar sumber daya alam, hutan adalah nyawa bagi masyarakat adat Tobelo. Di tengah ancaman tambang dan lemahnya pengakuan hak ulayat, mereka terus berjuang dengan cara mereka sendiri: dengan musyawarah, dengan aksi damai, dan dengan mempertahankan ingatan akan leluhur yang telah menjaga hutan ini selama berabad-abad.
Namun, pertanyaannya tetap sama: akankah negara dan hukum berpihak pada mereka, atau justru membiarkan sejarah mereka terkubur bersama hilangnya Hutan Akejira?
“Disadur oleh Safira siti fatimah karim mahasiswi Universitas Islam Negeri Sunan Ampel”