“Muhammad, is the most influential leader of all time. A striking example of this is my rangking Muhammad higher than Jesus. My choice of Muhammad to lead this list may surprise some readers and may be questioned by others, but he was the only man in history who was supremely successful on both the religious and secular level.”

 –Michael H. Hart

“I believe that it was not the sword that won a place for Islam in those days in the scheme of life. It was the rigid simplicity, the utter self-effacement of the prophet and his intense devotion to his friends and followers. When I closed the second book of the prophet’s biography, I was sorry there was not for me to read of that great life”.

–Mahatma K. Gandhi

Dalam setiap masyarakat selalu terdapat dua kelompok yang berbeda peranan sosialnya. Yaitu mereka yang memimpin sebagai komunitas kecil yang terpilih, dan kelompok yang dipimpin, yaitu masyarakat kebanyakan.   Kepemimpinan (Leadership) adalah “aktivitas untuk mempengaruhi perilaku orang lain untuk diarahkan mencapai tujuan tertentu”. Karenanya, leadership adalah kemampuan menggerakkan dan memotivasi orang lain agar secara serentak melakukan aktifitas yang sama dan terarah pada pencapaian tujuan tertentu.

Wal-hasil, poin penting dalam konteks ini adalah adanya “pengaruh” dan efektifitas kekuasaan yang terimplementasikan secara imperatif. Sejalan dengan ta’rif tersebut pemimpin adalah orang yang memiliki power (kekuasaan) untuk mempengaruhi orang lain. Sehingga mereka bertindak sebagaimana yang dikehendaki sang pemimpin melalui kepemimpinannya.

Selanjutnya dalam konsepsi al-Qur’an inti leadership merujuk kepada QS. Fathir 39, yaitu : “Dialah yang menjadikan kamu ‘khalifah’ (baca :bukan khilafah) di muka bumi”. Dalam ayat lain ditemukan dalam QS al-Shaad 26: “Wahai Daud sesungguhnya Kami menjadikan engkau seorang khalifah di bumi, maka tegakkanlah hukum diantara manusia dengan benar dan janganlah engkau mengikuti hawa nafsu sehingga ia menyesatkan engkau dari jalan Allah.”  Dalam al-Qur’an kosa kata khalifah disebutkan sebanyak 9 kali dengan perincian dalam bentuk jamak’ 7 kali, yaitu “khalaif” 4 kali dan “khulafa’” 3 kali.  Sedangkan dalam bentuk mufrad yaitu “khalifah” sebanyak 2 kali.

Meliterasikan makna diatas dapat dipahami bahwa setelah Rasul SAW wafat, para sahabat bermusyawarah yang cukup alot di balairung Bani Sa’idah selama 3 hari; dan akhirnya terpilihlah Abu Bakar al-Shiddiq sebagai khalifah, dalam arti “khalifatu Rasulillah”. Khalifah adalah pengganti yang berkedudukan sebagai “pemimpin”. Implikasinya ia berkewajiban melaksanakan sebagian tugas-tugas Rasul SAW. Dalam konteks ini adalah tidak mungkin khalifah melaksanakan semua tugas beliau. Dalam perspektif ini, rujukan lain bisa ditemukan dalam Hadits Bukhari-Muslim: “Kalian semua adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya”

Last but not least, yang tidak kalah penting, seorang pemimpin seharusnya selalu bersedia lebih banyak melatih “kepekaan” indera pendengarannya terhadap suara lirih umatnya, sebagaimana yang diperintahkan dalam QS. Al-Naml 19: “Fatabassama dhahikan min qauliha” (Maka Nabi Sulaiman As tersenyum dan tertawa karena mendengar suara semut). Ayat ini mengisahkan rombongan semut yang diperintah oleh komandannya agar segera masuk lubang agar tidak diinjak oleh rombongan Nabi Sulaiman AS yang sedang lewat beserta tentaranya. Karena jika rombongan beliau sampai menginjak semut, mereka tidak akan merasakannya. Namun adalah sangat “luar biasa” ternyata beliau mendengar suara semut yang kecil tersebut.       

Semoga bermanfaat

baca juga: UMMAH WAHIDAH: Perspektif Nation-State [Edisi-2]