Kata “Ummah Wahidah” adalah kata penutup dalam mukadimah Piagam Madinah. Maknanya siapapun, apapun kelompok dan keyakinannya yang berada di Madinah adalah satu bangsa. Karenanya narasi hubbu al-wathan min al-iman identik dengan nasionalisme yang saat ini sedang dilawan oleh “Populisme”. Secara sosiologis, terdapat tiga kelompok yang merespon “negatif” terhadap wacana nasionalisme.
Pertama, mereka yang menganggap bahwa nasionalisme sudah “ndeso” dan tidak up to date lagi. Hal itu dikarenakan realitasnya globalisasi telah melindas gejala-gejala nation-state.
Kedua, adalah mereka yang memang tidak pernah memikirkannya, karena yang mereka pikirkan adalah bagaimana mencari duit yang banyak untuk mencari kesenangan di dunia ini. Diantara mereka adalah sebagian generasi muda yang berfalsafah “mumpung muda berfoya-foya, tua kaya raya, dan mati masuk surga”.
Ketiga, adalah mereka yang menolak nasionalisme, dikarenakan ia telah menyebabkan keterpurukan rakyat Indonesia. “Khilafah” adalah solusi dari keterpurukan tersebut. Kelompok ini berpendapat bahwa nasionalisme bertentangan dengan ajaran Islam. Mereka selalu meyakinkan bahwa siapapun yang mengaku muslim wajib mentaati dawuh Allah SWT: “Udkhlulu fi al-silmi kaffah” -Masukklah kamu ke dalam Islam ini secara totalitas- (al-Baqarah 208). Wal-hasil, politiknya harus Islam, ekonominya harus Islam, dan sudah barang tentu “negara”nya harus Islam atau Khilafah.
Selanjutnya, untuk memperkokoh keutuhan NKRI. Maka ide dasar yang tidak boleh dilupakan adalah wacana multikulturalisme (syu’uban wa qabaila) sebagai roh nation-state. Apalagi bangsa Indonesia adalah representasi masyarakat pluralis dan multikultural. Itulah kenyataan riil yang tidak dapat ditolak, dan sejarahpun mencatat bahwa Indonesia adalah -dahulu- sebuah ruang yang “nyaman” bagi keinginan umum terlaksananya jalinan pertalian dalam masyarakat yang multikultur. Artinya, Indonesia adalah ruang untuk saling menyapa atas segala bentuk perbedaan berdasarkan pada pluralitas itu sendiri. Semangat Bhineka Tunggal Ika dalam lambang kenegaraan merupakan bukti bagi terbentuknya ikatan batin yang menyemangati keinginan untuk hidup bersama secara damai sebagai suatu ummah.
Namun, saat ini ruang yang bernama Indonesia tersebut justru di dalamnya masih sering terkoyak dengan hadirnya sejumlah peristiwa konflik-konflik horizontal yang berdimensikan pluralitas, semisal suku dan agama. Konflik antar etnis diakui memang mengedepan dalam sejarah kita, ketika memasuki masa transisi ini. Dari soal konflik yang bernuansakan agama sampai konflik dalam ranah lain, yaitu suku, ras, dan antar kelompok dalam konteks systemic injustice.
Berbagai realitas konflik antar agama/keyakinan, etnis, dan antar golongan tersebut menunjukkan bahwa masalah “keragaman” tersebut belum tuntas. Minimal konsep nation-state yang selama ini kita anut seolah hanya bergerak pada ranah “retorika” belaka. Dalam realitasnya, -secara empirik- bangsa ini masih dihadapkan pada kesadaran palsu atas pluralitas serta keragaman budaya. Sebagai sebuah bangsa, mozaik kebersamaan itu nyaris gagal menjadikan negeri ini sebagai tempat yang aman dalam nuansa hamemayu hayuning bawana. Dalam konteks ini, wajarlah jika ada pandangan yang memberikan kritik atas pemahaman kebangsaan, bahwa pada dasarnya kita “sedang belajar” menjadi sebuah bangsa.
Berbagai realitas konflik antar agama/keyakinan, etnis, dan antar golongan tersebut menunjukkan bahwa masalah “keragaman” tersebut belum tuntas. Minimal konsep nation-state yang selama ini kita anut seolah hanya bergerak pada ranah “retorika” belaka. Dalam realitasnya, -secara empirik- bangsa ini masih dihadapkan pada kesadaran palsu atas pluralitas serta keragaman budaya. Sebagai sebuah bangsa, mozaik kebersamaan itu nyaris gagal menjadikan negeri ini sebagai tempat yang aman dalam nuansa hamemayu hayuning bawana. Dalam konteks ini, wajarlah jika ada pandangan yang memberikan kritik atas pemahaman kebangsaan, bahwa pada dasarnya kita “sedang belajar” menjadi sebuah bangsa.
Memang, kita tidak dapat memahami pluralitas yang multikultural hanya dengan menyatakan bahwa masyarakat kita majemuk dan beraneka ragam, terdiri dari berbagai suku, agama, dan kelompok yang terkesan terfragmentasi. Kita tidak boleh memahami multikulturalisme hanya sebagai cara untuk menyingkirkan fanatisme. Multikulturalisme mencerminkan pertalian sejati tentang kebhinekaan dalam ikatan keadaban (genuine engagement of diversities within the bonds of civility). Oleh karena itu, kita perlu mekanisme perawatan imperatif dan pengawasan yang dijiwai oleh ruh keseimbangan dan kesederajatan.
Bersambung,
baca juga: Pemimpin Mendengar dan Didengar