Multikulturalisme yang diidealkan dalam kebijakan politik seringkali justru berlawanan dengan realitas sosial yang dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari.  Hal itu tidak  berkaitan dengan konstruksi identitas nasional. Melainkan berkaitan dengan distribusi kekuasan dan implementasinya bagi kesetaraan akses publik masyarakat yang majemuk tersebut. Karenanya, multikulturalisme sebagai sebuah ideologi memiliki dimensi politik dan dimensi kebudayaan, yang berkaitan dengan penghargaan atas keberagaman budaya, dan  menjadi mainstream sosial.

Secara politik, multikulturalisme merupakan kebijakan atas perlindungan keanekaragaman latar belakang identitas kolektif  (etnis, agama, dan kelompok ) di dalam suatu negara-bangsa. Implementasi lebih lanjut dari multikulturalisme adalah sebagai sebuah kebijakan politik. Itu tercermin dalam peran pemerintah sebagai penyedia (provider) dan penjamin (guarantor). Peran tersebut berguna bagi distribusi keadilan sosial (social justice) untuk kesetaraan akses tanpa pengecualian. Jadi dalam hal ini penegakan hukum (law enforcement) itu hanyalah instrument bagi keadilan sosial.

Sedangkan dalam dimensi kebudayaan. Multikulturalisme merupakan konstruksi sosial terhadap kesadaran untuk melihat keragaman identitas kolektif di dalam relasi sosial yang bersifat mutual. Serta memahami unsur-unsur yang bersifat tidak setara  (incompatible ) dalam masing-masing identitas kolektif suatu kelompok yang sangat potensial memicu terjadinya konflik sosial. Dalam perspektif inilah, multikulturalisme menjadi pilar penting bagi  sense of nationalism.

Dan, disinilah Ben Anderson (1983) mengajukan tesisnya bahwa bangsa adalah komunitas imajiner (Imagined Political Community) yang prosesnya dikonstruksikan secara politis melalui praksis kebudayaan. Wal-hasil, yang disebut bangsa adalah komunitas politik atau nation state  yang adil dan makmur yang sangat memperhatikan hak-hak citizenship (gemah ripah lohjinawi, apasir wukir toto tentrem karto raharjo).

Negara-bangsa seperti gambaran di atas dibayangkan oleh bangsa yang terjajah akan terwujud setelah para penjajah keluar dari bumi mereka. Namun, kenyataan yang ada negara-bangsa seperti yang diharapkan tersebut tidak segera terwujud. Sebuah perkawinan antara bangsa dan wadahnya (negara) tersebut pada kenyataannya  tidak berjalan secara mulus.

Dalam perspektif ini, Stuart Hall (1992) menyebutkan adanya 5 elemen yang harus diwujudkan, yaitu : (1) narasi tentang ide suatu bangsa yang tercatat dalam sejarah resmi, (2) penekanan terhadap akar kebudayaan, kelangsungan, dan pemeliharaan tradisi, (3) penemuan tradisi baru,  (4) peletakan pondasi mitologis, dan (5) gagasan mengenai rakyat jelata.

Akhirnya, berikut ini beberapa pokok pikiran untuk muhasabah. Pertama, hendaknya dihindari pemaknaan NKRI yang didominasi oleh wacana kelompok mayoritas yang akan melahirkan jebakan identitas (identity trap). Karenanya, harus selalu dijaga bahwa setiap individu memiliki dua kepentingan  atas kebebasan, yaitu (1) kebebasan dari (freedom of) mengarahkan kehidupan mereka menurut nilai-nilai yang mereka anut tanpa “rasa takut” terhadap bentuk  diskriminasi atas nilai-nilai yang mereka yakini tersebut, dan (2) kebebasan untuk (freedom for) mempertanyakan berbagai kepercayaan dan menguji suatu sistem nilai menurut  argumentasi yang disediakan oleh budaya yang melingkupi seseorang dalam suatu komunitas.

Kedua, multikulturalisme yang diadopsi sebagai kebijakan politik harus menghindari penyamaran potensi-potensi laten dari suatu bentuk hegemoni budaya. Multikulturalisme yang hanya bersifat permukaan belaka (superficial) seringkali menjadi peneguh bagi praktek dominasi budaya. Kebebasan untuk merayakan perbedaan (the celebratory multiculturalism) saja tidaklah cukup. Ketika masyarakat tidak dibekali dengan pendidikan yang secara kritis memuat berbagai ide dan pengelolaan toleransi sosial.

Ketiga, kearifan saja tidaklah cukup, karena hal ini memerlukan upaya bagi perbaikan mekanisme demokratis dan pendistribusian keadilan sosial (social justice). Karena, bagaimanapun juga ide tentang wujud toleransi sosial dan kebersamaan dalam keberbedaan hanya akan menjadi “sia-sia”. Ketika masih ada sebagian warga bangsa yang takut untuk secara bebas menyuarakan aspirasinya.

Keempat, nation merupakan formalisasi dari kesadaran warganya yang secara empirik membutuhkan kongruensi dengan state sebagai wadahnya yang objektif dan bersifat politis. Namun, konstruksi nation-state tersebut seringkali mengandung kerancuan, sebab pada level praksis politik terjadi “pemaksaan” kongruensi antara nation sebagai unit sosial, dan state sebagai entitas politik. Karenanya nation-state memiliki kecenderungan inheren untuk berwatak state violence, dan juga mewarisi karakter negara absolute, yaitu tetap adanya kecenderungan kekuasaan yang sentralistik yang menyebabkan rentan  dan totaliter. Ya, sudah saatnya kita melakukan dekonstruksi historiografis menuju humanistic construction dalam konteks hak-hak citizenship.

Kelima, Mitsaq Madinah/Kitabah Watsiqah adalah “nation-state”  yang menjadi qudwah hasanah bagi umat manusia untuk mendirikan sebuah negara-bangsa. Dalam Mukadimah menyatakan, bahwa siapapun yang berada di Madinah adalah “ummah wahidah” (satu bangsa). Dalam Muktamar NU XI di Banjarmasin 1935 tidak berhasil memutuskan bahwa Indonesia harus menjadi negara Islam (dar al-Islam). Hujjah yang digunakan adalah bahwa asbab al-nuzul dari surah al-Baqarah 208 menegaskan bahwa khitabnya ditujukan kepada ahli kitab (Abdullah bin Salam dan teman-temannya). Dalam perspektif ini, pada tahun 1983, NU menegaskan di Situbondo bahwa NKRI yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 merupakan “upaya final dari umat Islam untuk mendirikan sebuah negara.”

Last but not least, bagi anak muda, masa depan adalah dimensi  ruang dan waktu yang harus dihadapi. Cirinya adalah uncertainties. Tetapi jika dewasa ini orang hampir dapat menjungkir-balikkan dimensi ruang-waktu; dan dengan ketidakpastiannya jumawa menguasai dunia. Akibat revolusi IT, -memang- jarak terseok-seok minta ampun, sebab tidak mampu lagi memisahkan manusia. Maka, siapa yang dapat memastikan hari esok ? Dan, monggo direnungkan taushiyah  R.Ng. Ronggo Warsito yang telah diplesetkan menjadi Sak begja-begjane wong kang lali, luwih begja kang “maling” kelawan waspada”.

Sekian, . . . . . . Wallahu A’lam bi al-Shawab.

baca juga: UMMAH WAHIDAH (ONE NATION):Perspektif Nation-State [Edisi-1]